A. Nabi Muhammad SAW Lahir
Rasulullah saw dilahirkan pada hari senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah
(570 M). Beliau adalah Muhammad saw. bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim
bin Abdi Manaf bin Qushay bin Killab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ayy bin Ghalib
bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas
bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasab Adnan berakhir pada Sayyidina
Isma’il bin Ibrahim as.
Para penulis sirah (biografi) Muhammad pada umumnya sepakat bahwa ia
lahir di Tahun Gajah, yaitu tahun 570 M. Muhammad lahir di kota Mekkah, di
bagian Selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah
paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu
pengetahuan. Ayahnya, Abdullah, meninggal dalam perjalanan dagang di Yastrib,
ketika Muhammad masih dalam kandungan. Ia meninggalkan harta lima ekor unta,
sekawanan biri-biri dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang
kemudian mengasuh Nabi.
Pada saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah binti Wahab
mengajaknya ke Yatsrib (Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta
mengunjungi makam ayahnya. Namun dalam perjalanan pulang, ibunya jatuh sakit.
Setelah beberapa hari, Aminah meninggal dunia di Abwa’ yang terletak tidak jauh
dari Yatsrib, dan dikuburkan di sana. Setelah ibunya meninggal, Muhammad dijaga
oleh kakeknya, ‘Abd al-Muththalib. Setelah kakeknya meninggal, ia dijaga oleh
pamannya, Abu Thalib. Ketika inilah ia diminta menggembala kambing-kambingnya
disekitar Mekkah dan kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke negeri
Syam (Suriah, Libanon dan Palestina).
Hampir semua ahli hadits dan sejarawan sepakat bahwa Muhammad lahir di
bulan Rabiulawal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Di
kalangan Syi’ah, sesuai dengan arahan para Imam yang merupakan keturunan
langsung Muhammad, menyatakan bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiulawal;
sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiulawal
atau (2 Agustus 570M).
B. Disusukan Oleh Keluarga
Sa’d
Beliau disusui oleh Tsuwaibah, seorang budak pamannya, Abu Lahab,
selama beberapa hari. Lalu Abdul Muthalib mencarikan ibu susu dari daerah
pedesaan, demi cucunya yang yatim itu, yang sangat ia cintai melebihi yang
lainnya. Ini dilakukannya sebagaimana telah menjadi kebiasaan bangsa Arab.
Mereka mengutamakan daerah pedesaan untuk penyusuan karena udara pedesaan masih
segar dan bersih, serta sikap orang-orang desa yang masih murni dan sederhana,
di samping itu bahasa desa juga masih murni dan fasih.
Datanglah ibu-ibu susu dari kabilah bani Sa’ad. Mereka menyediakan
waktu sebulan untuk penyusuan dan kefasihan berbahasa. Bangsa Arab pada masa
jahiliyah merupakan komunitas yang memiliki kefasihan luar biasa. Mereke sangat
membanggakan kefasihan tersebut sampai pada tingkat mereka menyebut bangsa yang
tidak dapat berbahasa arab dengan sebutan ajam (gagap) Lalu ditemukanlah
Halimah as Sa’diyah. Ini adalah sebuah bebahagiaan, Halimah pergi dari
negerinya untuk mencari anak-anak yang akan disusukan. Tahun itu adalah musim
kering. Warga pedesaan berada dalam keadaan susah dan berat.
Muhammad saw ditawarkan kepada semua ibu susu namun mereka menolaknya,
mereka mengharapkan kebaikan dari ayah si anak. Mereka mengatakan ia seorang
anak yatim. Demikian pula yang dilakukan oleh Halimah. Iapun pada mulanya
beranjak pergi dan meninggalkannya. Tapi kemudian hatinya merasa kasihan kepada
bayi Muhammad saw. Allah telah mengilhamkan cinta dan keinginan kepada Halimah
untuk mengambil anak itu, yang saat itu tidak menemukan bayi lain untuk disusui
selainnya. Lalu Halimah kembali kepada Muhammad dan beliau dibawa ke rumahnya.
Halimah mendapatkan keberkahan dengan usaha tangannya itu. Segala yang ada di
rumahnya memberikan kebaikan.
C. Kisah Dua Malaikat dan
Pembedahan Dada
Ketika Muhammad saw masih tinggal di keluarga Bani Sa’ad, dua malaikat
datang menemui beliau. Keduanya membedah perut beliau dan mengeeluarkan
segumpal darah berwarna hitam dari hati beliau. Benda itu mereka buang dan hati
Muhammad saw mereka basuh hingga bersih lalu mereka kembalika seperti semula.
Ketika itu beliau sedang menggembala kambing bersama saudara-saudara
sepersusuan. Beliau tumbuh secara wajar dan alamiah, hidup di pedesaan yang
penuh keluhuran, dengan bahasa yang fasih, yang bani Sa’ad bin Bakar tersohor
karenanya. Beliau pernah bersabda kepada para sahabatnya, Aku lebih arab
daripada kalian. Aku berasal dari suku Quraisy dan aku disusukan di bani Sa’ad
bin Bakar.
D. Lima Tahun Selama Tinggal Di
Pedalaman
Baik kaum Orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri
tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu
lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita
penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit
umurnya. Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu
sependapat bahwa Muhammad tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa’d itu sampai
mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua
setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada
ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak
dapat diterima. Oleh karena itu beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali
dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya.
Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua
orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan
suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin
saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak
sampai mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik.
Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada
yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah
mempersiapkannya supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks
ayat yang berbunyi: “Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami
lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?” (Qur’an 94: 1-3)
Apa yang telah diisyaratkan Qur’an itu adalah dalam arti rohani semata,
yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan
menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan
menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad adalah
sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan
untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu ia harus bersandar kepada
apa yang biasa dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan
demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan
kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka
berpendapat bahwa apa yang dikemukakan itu tidak sejalan dengan apa yang
diminta oleh Qur’an supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang
Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai dengan ekspresi Qur’an tentang
kaum Musyrik yang tidak mau mendalami dan tidak mau mengerti juga.
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun,
menghirup jiwa kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu.
Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga
pernah ia mengatakan kepada teman-temannya kemudian: “Aku yang paling fasih di
antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di tengah-tengah Keluarga
Sa’d bin Bakr.”
Penduduk daerah itu pernah mengalami suatu masa paceklik sesudah
perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana Halimah kemudian mengunjunginya,
sepulangnya ia dibekali dengan harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan
empat puluh ekor kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah sebagai tanda penghormatan.
Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin
setelah Ta’if dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalnya.
Ia dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan wanita
itu.
Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya. Dikatakan
juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang membawanya pulang ketempat
keluarganya tapi tidak menjumpainya.
Ia mendatangi Abd’l-Muttalib dan memberitahukan bahwa Muhammad telah
sesat jalan ketika berada di hulu kota Mekah. Lalu Abd’l-Muttalibpun menyuruh
orang mencarinya, yang akhirnya dikembalikan oleh Waraqa bin Naufal, demikian
setengah orang berkata.
E. Di Bawah Asuhan
Abd’l-Muttalib
Kemudian Abd’l-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia
memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih-sayangnya kepada
cucu ini. Biasanya buat orang tua itu – pemimpin seluruh Quraisy dan pemimpin
Mekah – diletakkannya hamparan tempat dia duduk di bawah naungan Ka’bah, dan
anak-anaknya lalu duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan
kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang maka didudukkannya ia di
sampingnya diatas hamparan itu sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat
betapa besarnya rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
di belakang dari tempat mereka duduk itu.
Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah
kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada
saudara-saudara kakeknya dari pihak Keluarga Najjar.
Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan yang
ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Medinah kepada anak itu
diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan.
Itu adalah yang pertama kali ia merasakan sebagai anak yatim. Dan barangkali
juga ibunya pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta itu,
yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia di
tengah-tengah pamannya dari pihak ibu. Sesudah Hijrah pernah juga Nabi
menceritakan kepada sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke
Medinah dengan ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah yang
penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
F. Aminah Wafat
Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah
bersiap-siap akan pulang. Ia dan rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta
yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan, ketika mereka
sampai di Abwa’ ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan
dikuburkan pula di tempat itu.
Anak itu oleh Umm Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang menangis dengan
hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa kehilangan; sudah ditakdirkan
menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru
beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka kehilangan
Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri dihadapannya,
ibu pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil
itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abd’l-Muttalib kepadanya. Tetapi sungguhpun
begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu bekasnya masih mendalam
sekali dalam jiwanya sehingga di dalam Qur’anpun disebutkan, ketika Allah
mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu: “Bukankah
engkau dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya orang yang akan
melindungimu? Dan menemukan kau kehilangan pedoman, lalu ditunjukkanNya jalan
itu?” (Qur’an, 93: 6-7)
G. Abd’l-Muttalib Wafat
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak
meringankan juga sedikit, sekiranya Abd’l-Muttalib masih dapat hidup lebih lama
lagi. Tetapi orang tua itu juga meninggal, dalam usia delapanpuluh tahun,
sedang Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad
dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya
ketika ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis
sambil mengantarkan keranda jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun sesudah itu,
di bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang
baik sekali, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian
sampai pamannya itupun akhirnya meninggal.
Sebenarnya kematian Abd’l-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi
Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada yang seperti dia:
mempunyai keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang tajam, terhormat dan
berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan minuman bagi
mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila
mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya itu
yang akan dapat meneruskan.
Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya
hidupnya kikir sekali. Oleh karena itu maka Keluarga Umaya yang lalu tampil ke
depan akan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu diinginkan itu,
tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
H. Di Bawah Asuhan Abu Talib
Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang
tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua adalah Harith, tapi dia
tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan
hartanya. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa
mengurus rifada (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu Talib
mempunyai perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Dan tidak
pula mengherankan kalau Abd’l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian
kepada Abu Talib.
Abu Talib mencintai kemenakannya itu sama seperti Abd’l-Muttalib juga.
Karena kecintaannya itu ia mendahulukan kemenakan daripada anak-anaknya
sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati,
itulah yang lebih menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan pergi
ke Syam membawa dagangan – ketika itu usia Muhammad baru duabelas tahun –
mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan
olehnya akan membawa Muhammad. Akan tetapi Muhammad yang dengan ikhlas
menyatakan akan menemani pamannya itu, itu juga yang menghilangkan sikap
ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
I. Pergi Ke Suria Dalam
Usia Duabelas Tahun
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di
Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad
diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan
bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan
petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu
menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam,
sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan
berbuat jahat terhadap dia.
Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat
luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang
jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit’l-Qura serta
peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam
segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan
itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia
berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang
akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang
tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir
yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga
Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari
penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.
Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai
persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai
tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat
semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling,
dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar
dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari
semua itu?
Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu.
Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan
yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang
banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Pendengarannya terpesona
oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan,
melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa
mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan
Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci
Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka.
Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada
paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia
merasa lega.
Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke
jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama
datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu.
Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
J. Perang Fijar
Kalau Muhammad sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir dengan
pamannya Abu Talib, sudah mendengar para penyair, ahli-ahli pidato membacakan
sajak-sajak dan pidato-pidato dengan keluarganya dulu di pekan sekitar Mekah
selama bulan-bulan suci, maka ia juga telah mengenal arti memanggul senjata,
ketika ia mendampingi paman-pamannya dalam Perang Fijar. Dan Perang Fijar
itulah di antaranya yang telah menimbulkan dan ada sangkut-pautnya dengan
peperangan di kalangan kabilah-kabilah Arab.
Dinamakan Al-Fijar4 ini karena ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada
waktu kabilah-kabilah seharusnya tidak boleh berperang. Pada waktu itulah
pekan-pekan dagang diadakan di ‘Ukaz, yang terletak antara Ta’if dengan Nakhla
dan antara Majanna dengan Dhu’l-Majaz, tidak jauh dari ‘Arafat. Mereka di sana
saling tukar menukar perdagangan, berlumba dan berdiskusi, sesudah itu kemudian
berziarah ke tempat berhala-berhala mereka di Ka’bah.
Pekan ‘Ukaz adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
Arab lainnya. Di tempat itu penyair-penyair terkemuka membacakan sajak-sajaknya
yang terbaik, di tempat itu Quss (bin Sa’ida) berpidato dan di tempat itu pula
orang-orang Yahudi, Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
mengemukakan pandangan dengan bebas, sebab bulan itu bulan suci.
Akan tetapi Barradz bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi menghormati
bulan suci itu dengan mengambil kesempatan membunuh ‘Urwa ar-Rahhal bin ‘Utba
dari kabilah Hawazin. Kejadian ini disebabkan oleh karena Nu’man bin’l-Mundhir
setiap tahun mengirimkan sebuah kafilah dari Hira ke ‘Ukaz membawa muskus, dan
sebagai gantinya akan kembali dengan membawa kulit hewan, tali, kain tenun
sulam Yaman. Tiba-tiba Barradz tampil sendiri dan membawa kafilah itu ke bawah
pengawasan kabilah Kinana. Demikian juga ‘Urwa lalu tampil pula sendiri dengan
melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
Adapun pilihan Nu’man terhadap ‘Urwa (Hawazin) ini telah menimbulkan
kejengkelan Barradz (Kinana), yang kemudian mengikutinya dari belakang, lalu
membunuhnya dan mengambil kabilah itu. Sesudah itu kemudian Barradz
memberitahukan kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
balas kepada Quraisy. Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy sebelum masuknya
bulan suci. Maka terjadilah perang antara mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan
menggabungkan diri dengan pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin memberi
peringatan bahwa tahun depan perang akan diadakan di ‘Ukaz.
Perang demikian ini berlangsung antara kedua belah pihak selama empat
tahun terus-menerus dan berakhir dengan suatu perdamaian model pedalaman, yaitu
yang menderita korban manusia lebih kecil harus membayar ganti sebanyak jumlah
kelebihan korban itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian Quraisy telah
membayar kompensasi sebanyak duapuluh orang Hawazin. Nama Barradz ini kemudian
menjadi peribahasa yang menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak memberikan
kepastian mengenai umur Muhammad pada waktu Perang Fijar itu terjadi. Ada yang
mengatakan umurnya limabelas tahun, ada juga yang mengatakan duapuluh tahun.
Mungkin sebab perbedaan ini karena perang tersebut berlangsung selama empat
tahun. Pada tahun permulaan ia berumur limabelas tahun dan pada tahun
berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.
Juga orang berselisih pendapat mengenai tugas yang dipegang Muhammad
dalam perang itu. Ada yang mengatakan tugasnya mengumpulkan anak-anak panah
yang datang dari pihak Hawazin lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk
dibalikkan kembali kepada pihak lawan. Yang lain lagi berpendapat, bahwa dia
sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan tersebut telah
berlangsung sampai empat tahun, maka kebenaran kedua pendapat itu dapat saja
diterima. Mungkin pada mulanya ia mengumpulkan anak-anak panah itu untuk
pamannya dan kemudian dia sendiripun ikut melemparkan. Beberapa tahun sesudah
kenabiannya Rasulullah menyebutkan tentang Perang Fijar itu dengan berkata:
“Aku mengikutinya bersama dengan paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah
dalam perang itu; sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan.”
Sesudah Perang Fijar Quraisy merasakan sekali bencana yang menimpa
mereka dan menimpa Mekah seluruhnya, yang disebabkan oleh perpecahan, sesudah
Hasyim dan ‘Abd’l-Muttalib wafat, dan masing-masing pihak berkeras mau jadi
yang berkuasa. Kalau tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka
berebut mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin ‘Abd’l-Muttalib di rumah Abdullah
bin Jud’an diadakan pertemuan dengan mengadakan jamuan makan, dihadiri oleh
keluarga-keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym. Mereka sepakat dan berjanji atas nama
Tuhan Maha Pembalas, bahwa Tuhan akan berada di pihak yang teraniaya sampai
orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu yang oleh mereka disebut
Hilf’l-Fudzul. Ia mengatakan, “Aku tidak suka mengganti fakta yang kuhadiri di rumah
Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak pasti
kukabulkan.”
Seperti kita lihat, Perang Fijar itu berlangsung hanya beberapa hari
saja tiap tahun. Sedang selebihnya masyarakat Arab kembali ke pekerjaannya
masing-masing. Pahit-getirnya peperangan yang tergores dalam hati mereka tidak
akan menghalangi mereka dari kegiatan perdagangan, menjalankan riba, minum
minuman keras serta pelbagai macam kesenangan dan hiburan sepuas-puasnya
Adakah juga Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini? Ataukah
sebaliknya perasaannya yang halus, kemampuannya yang terbatas serta asuhan
pamannya membuatnya jadi menjauhi semua itu, dan melihat segala kemewahan
dengan mata bernafsu tapi tidak mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu,
sejarah cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan karena tidak
mampu mencapainya. Mereka yang tinggal di pinggiran Mekah, yang tidak mempunyai
mata pencarian, hidup dalam kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam
hiburan itu. Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari pemuka-pemuka Mekah dan
bangsawan-bangsawan Quraisy dalam menghanyutkan diri ke dalam kesenangan
demikian itu.
Akan tetapi jiwa Muhammad adalah jiwa yang ingin melihat, ingin
mendengar, ingin mengetahui. Dan seolah tidak ikut sertanya ia belajar seperti
yang dilakukan teman-temannya dari anak-anak bangsawan menyebabkan ia lebih
keras lagi ingin memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang selalu mendambakan
kesempurnaan, itu jugalah yang menyebabkan dia menjauhi foya-foya, yang biasa
menjadi sasaran utama pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup yang akan
lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan
dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang
kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia
kanak-kanak gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hati sudah tampak,
sehingga penduduk Mekah semua memanggilnya Al-Amin (artinya ‘yang dapat
dipercaya).
K. Menggembala Kambing
Yang menyebabkan Muhammad lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia
menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah. Dengan rasa
gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di
antaranya ia berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing.” Dan
katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala
kambing, aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas
di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu
tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam
suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu.
Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang
penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri. Karena hatinya yang terang,
jantungnya yang hidup, ia melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu.
Bukankah juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak demikian berarti kematian?
Bukankah ia dihidupkan oleh sinar matahari, bermandikan cahaya bulan dan
kehadirannya berhubungan dengan bintang-bintang dan dengan seluruh alam?
Bintang-bintang dan semesta alam yang tampak membentang di depannya,
berhubungan satu dengan yang lain dalam susunan yang sudah ditentukan, matahari
tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan mendahului siang. Apabila
kelompok kambing yang ada di depan Muhammad itu memintakan kesadaran dan
perhatiannya supaya jangan ada serigala yang akan menerkam domba itu, jangan
sampai – selama tugasnya di pedalaman itu – ada domba yang sesat, maka kesadaran
dan kekuatan apakah yang menjaga susunan alam yang begitu kuat ini?
Bukankah dia juga yang pernah berkata: “Kami adalah golongan yang hanya
makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai kenyang?” Bukankah
dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta
supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara orang mengejar harta
dengan serakah hendak memenuhi hawa nafsunya, sama sekali tidak pernah dikenal
Muhammad selama hidupnya. Kenikmatan jiwa yang paling besar, ialah merasakan
adanya keindahan alam ini dan mengajak orang merenungkannya. Suatu kenikmatan
besar, yang hanya sedikit saja dikenal orang.
Kenikmatan yang dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya yang
mula-mula yang telah diperlihatkan dunia sejak masa mudanya adalah kenangan
yang selalu hidup dalam jiwanya, yang mengajak orang hidup tidak hanya
mementingkan dunia. Ini dimulai sejak kematian ayahnya ketika ia masih dalam
kandungan, kemudian kematian ibunya, kemudian kematian kakeknya. Kenikmatan demikian
ini tidak memerlukan harta kekayaan yang besar, tetapi memerlukan suatu
kekayaan jiwa yang kuat. sehingga orang dapat mengetahui: bagaimana ia
memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu takkan
tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan tetap bahagia, seperti
halnya dengan gembala-gembala pemikir, yang telah menggabungkan alam ke dalam
diri mereka dan telah pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.
Akan tetapi Abu Talib pamannya – seperti sudah kita sebutkan tadi
-hidup miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia mengharapkan akan dapat
memberikan tambahan rejeki yang akan diperoleh dari pemilik-pemilik kambing
yang kambingnya digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah
binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya.
Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang
yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia
bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan keluarga Makhzum, sehingga dia
menjadi seorang penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya itu
dengan bantuan ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa
pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu
melamar hanya karena memandang hartanya. Sungguhpun begitu usahanya itu terus
dikembangkan.
L. Ke Suria Membawa Dagangan
Khadijah
Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil kemenakannya
– yang ketika itu sudah berumur duapuluh lima tahun.
Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara,
budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itupun berangkat
menuju Syam, dengan melalui Wadi’l-Qura, Madyan dan Diar Thamud serta
daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib
tatkala umurnya baru duabelas tahun.
Perjalanan sekali ini telah menghidupkan kembali kenangannya tentang
perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah dia lebih banyak bermenung,
lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat, yang pernah didengar
sebelumnya: tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di
pasar-pasar sekeliling Mekah.
Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam. Ia
bicara dengan rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu, dan seorang rahib
Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali dia atau rahib-rahib lain pernah
juga mengajak Muhammad berdebat tentang agama Isa, agama yang waktu itu sudah
berpecah-belah menjadi beberapa golongan dan sekta-sekta – seperti sudah kita
uraikan di atas.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar
memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara perdagangan yang lebih
banyak menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian
juga dengan karakter yang manis dan perasaannya yang luhur ia dapat menarik
kecintaan dan penghormatan Maisara kepadanya. Setelah tiba waktunya mereka akan
kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan
disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Marr’-z-Zahran. Ketika
itu Maisara berkata: “Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan
ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu.”
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah. Ketika itu
Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan
sudah memasuki halaman rumahnya. ia turun dan menyambutnya. Didengarnya
Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta
laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang
dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan. Sesudah itu
Maisarapun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa
halusnya wataknya, betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini menambah
pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Mekah
yang besar jasanya.
M. Perkawinannya Dengan Khadijah
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi
rasa cinta, sehingga dia – yang sudah berusia empatpuluh tahun, dan yang
sebelum itu telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy –
tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan
matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada
saudaranya yang perempuan – kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa
bint Mun-ya – kata sumber lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata:
“Kenapa kau tidak mau kawin?”
“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad.
“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?”
“Siapa itu?”
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: “Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan
kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan,
mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan
bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: “Serahkan hal itu
kepadaku,” maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah
menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya
dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari perkawinan.
Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang
Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan,
bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya
dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
Dimulainya kehidupan itu sebagai suami-isteri dan ibu-bapa, suami-isteri yang
harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan sebagai ibu-bapa yang telah
merasakan pedihnya kehilangan anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang
telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.sumber : ramadhan odhe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar